HATIKU MILIKMU
(NERA)
_________________________________________________
_________________________________________________
SEMAKIN AKU CUBA DEKAT
SELANGKAH KAU MENJAUH
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, oh aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
Oh lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
Oh, puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
Oh puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
Oh jauh dari segala, Oh terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. Oh, seorang telah disiakan!
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, oh aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
Oh lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
Oh, puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
Oh puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
Oh jauh dari segala, Oh terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. Oh, seorang telah disiakan!
huhuhu
ReplyDelete